Senin, 11 Januari 2016

Tsunami Bukan Seremonial Belaka, Jadilah Pribadi Takwa

Minggu lalu (3/1/2016) saya dan kawan - kawan akhirnya bisa menyempatkan diri menginjakkan kaki ke Museum Tsunami Aceh. 

 Sudah 3 tahun di Banda Aceh, entah kenapa baru sekarang keinginan besar untuk kesana muncul. Padahal kata orang, 'tidak sah ke Banda Aceh kalau tidak singgah ke Museum Tsunami'. :D

Well, sampai jua kami di bangunan unik nan melingkar ini. Kami sebagai pengunjung tentu saja antusias, tertawa, dll saat mengabadikan momment itu dalam sekumpulan foto - foto. Kebetulan tak seorangpun diantara kami termasuk salah satu korban dalam peristiwa Tsunami.

Tapi, jika saya bertanya ke teman - teman asli Banda Aceh di kampus yang kampung halamannya terkena dampak peristiwa tragis itu mengaku merinding jika berkunjung ke Musseum. Bahkan ada yang menangis, terkisah cerita lalu sanak keluarga yang tak lagi bersamanya kini. 



Didalamnya, diabadikan nama-nama korban
benda-benda yang tersisa pasca tsunami, foto-foto kilas balik pra dan pasca tsunami
Replika Kejadan Tsunami


Kota ini terbiasa memperingati kejadian bersejarah tepat pada tanggal 26 Desember di setiap tahunnya. Terkadang kampus juga mengadakan Dzikir Akbar di masing - masing Fakultas/Program Studi. Banyak mahasiswa yang menangis haru terkenang masa sulit itu, terutama mahasiswinya.

Saya jadi teringat, pernah satu kali saya ikut menghadiri Majelis Dzikir peringatan Tsunami yang diadakan oleh Program Studi jurusan saya. Ditengah khusyuknya dzikir, tiba - tiba saya hilang konsentrasi melihat seorang mahasiswi di depan saya membalikkan wajahnya ke belakang (ke arah saya). Saya terkejut, make up nya luntur, air matanya berwarna hitam (efek mascara). Dia sesenggukan, sedih sekali nampaknya.

Itu membuat saya lost control, menundukkan kepala, lalu tertawa kecil. Saya berusaha mengembalikan konsentrasi saya dan berempati atas kesedihannya.

Singkat cerita, dzikir dan ceramah singkat selesai. Mahasiswa dipersilahkan meninggalkan ruangan sambil menerima nasi kotak di pintu keluar. Ditengah kerumunan itu, saya lihat lagi teman – teman saya yang sewaktu di dalam ruangan meraung – raung berlebihan, tapi setelah keluar ruangan tertawa – tawa cekikikan. Seakan – akan ia lupa apa yang 5 menit lalu ia rasakan.

Astaghfirullah.. berulang – ulang saya istighfar, beginilah kondisi manusia kekinian. Saat segala sesuatu hanya sebagai seremonial belaka. Tak ada ibrah yang mampu diambil dalam setiap kejadian. Nampak jelas mereka memperbaiki make up lalu bertabarruj lagi, berdua – duaan dan berkumpul ria dengan gerombolan laki – laki sedang tadinya kami berpisah dan menjaga jarak antara mahasiswa dan mahasiswi. Tak jarang juga saya mendapati penduduk asli yang tertangkap basah berkhalwat di pinggir pantai atau laut kota ini. Tak takut sama sekali kalau saja Allah menimpakan musibah itu untuk yang kedua kali.

Saya tidak menggeneralisir, mungkin hanya beberapa orang yang saya kenal saja yang bersifat seperti itu. Semoga peristiwa tsunami bisa dijadikan pelajaran akan besarnya kuasa Allah. Dan Musseum Tsunami yang menjulang tinggi ini bukanlah sekadar dijadikan tempat wisata semata, melainkan sebagai bahan muhasabah rakyat Aceh dan para pelancong lain seperti saya dan kawan – kawan. J


Tidak ada komentar:

Posting Komentar