Rabu, 20 Januari 2016

Rumah Sakit

Aroma obat yg menyengat, tangis samar orang berduka, wajah sembab para keluarga pasien yg menunggu di depan ruangan, mahasiswa ko-ass yang entah berapa jumlahnya tak henti2 berlalu lalang, dan pun tak ketinggalan para penjenguk yg berpakaian rapi tapi tak henti ngerumpi .

Tempat ini mirip pasar. 
Sepanjang jalan yang kudengar keluhan ibu-ibu yang menggema.
Mereka menyoal harga, pelayanan, ruang tunggu, dan sekawanan protes ala emak-emak.

Rumah sakit tak senyaman dulu.
Dia bukan lagi tempat dimana saya memasukkannya sebagai pilihan rihlah individu.

Rumah sakit tak sebaik dulu, dengan para pekerjanya yang murah senyum, para penjaga pasien yang suka berbagi cerita, dan pengunjung yg menjaga suara.

Setelah kurenung, 
yang memusingkan orang-orang ini cuma satu, Tagihan!
Setelah kurenung, 
tempat ini tak nyaman lagi ternyata karena memang bukan lagi tempat penyembuhan, tapi tempat pemalakan!

Salah siapa?
Dokter, perawat, dan staff jajarannya?
Atau penjaga pasien, pembesuk, atau malah salah pasien sendiri?

Memangnya fungsi penguasa dalam negara bukan lagi penjamin keselamatan warga ya? 
Mengapa optionalnya bukan lagi pemimpin negara?
Apa defenisi jaminan' versi saya dan mereka yg tak sama?

Entahlah..

Ingatan yang Tersusun Rapi: Itu Nikmat Besar!

Semalam, 2 jam saya habiskan waktu untuk membesuk teman saya yang baru selesai operasi 3 hari lalu. Beliau teman SD saya, satu-satunya teman sekolah yang kuliah bersama saya di Provinsi lain.

Semua alat bantu alhamdulillah sudah dilepas. Dia mulai banyak bicara.
Aku yang tak tau kondisi sebenarnya sempat kebingungan saat mendengar isi pembicaraannya yang 'ngalur-ngidul'.

Yg paling buat saya lucu campur sedih adalah saat dia bertanya, "eh Ummy, si Cahaya mana?"
Sebelum saya merespon pertanyaannya, segera pembesuk lain membisikkan, "dia belum pas x, harap maklum".

Deg! Saya tersentak. Kening mengerut seketika. Bertanya-tanya dalam hati, separah apa benturan di kepalanya?

Dia tak henti2 mengajak bicara, seprtinya ingatannya 'berebutan' terlintas dikepalanya.

Dia menyebutkan sebuah nama. Saya bilang saya ga kenal, tapi dia tetap cerita tentang orang itu. Dan setelah lama saya 'mikir keras',(ini kok jadi saya yg amnesia:D)
Rupanya yg dia maksudkan teman SD kami!

Bayangkan saja, kami sudah kuliah semester 7 dan dia masih mengira kami kelas 6 SD? 
Allahu...

Tiba2 dia memulai pembicaraan lagi. "Ummy udah KKN?", "Ummy udah Seminar Proposal?" "Ummy udah pindah Kost ya?"
Alhamdulillah, dia ingat lagi bahwa status kami sekarang mahasiswa, bkn anak sekolah.

Sudah jam 4 lewat, saya pamit dulu sholat Ashar ke musholla.
Dia mengijinkan, tas saya pun diletakkan di tempat tidurnya.

Tak lama setelahnya, saya kembali. 
Dia sambut girang "Ummy kok lama x baru jenguk akuuuu"
Sambil ngakak temannya yg lain protes, "ampundaaah si ummy uda dari tadi di sini,ini tasnya kan samamu! Dari tadi juga ngobrol bareng kita loh".

Mama nya cuma bisa mengurut kepala. Saya cuma bisa senyum, prihatin. Menguatkan dengan kata2, dan Mamanya yg tegar itu bilang, "iya, alhamdulillah..ini sudah lebih baik. Ingatannya mulai banyak, hanya saja belum terstruktur".

Pembesuk pun makin sore makin ramai. Sebelum magrib, saya putuskan untuk pulang. Saya pamit, dan sempat bersalaman. Saya berdoa, semoga Allah sempurnakan kembali akalnya.

Sesampai di rumah kost, ada sms masuk. Dari dia, temanku tadi. Kira2 isinya, "Ummy, cepat kesini..aku udah mau pulang"

Saya istighfar sebanyak2nya..
Mungkin dia lupa lagi bahwa saya barusan bersamanya disana.
Saya tahu betul, dia akan lama menetap disana, tak mungkin buru2 pulang.

Langsung saja, saya terduduk menakar syukur atas ber-milyar-an memori di kepalaku ini.
Masih terstruktur, tersusun rapi.
Yang nikmat itu sedang Allah ambil dari teman saya beberapa waktu lagi. :')

Minggu, 17 Januari 2016

Memandangi Kehidupan

KEGIRANGAN

Malam itu hujan, lumayan deras. Kami memilih tetap melanjutkan perjalanan pulang.
Saya diam ditumpangan, menikmati aroma tanah basah yang menyengat.

Ada hal yang teman saya (pengendara motor) tak tau. Dia sukses "nge-lindes" beberapa ekor katak yang nekat menari gembira di atas aspal. Saya cuma diam menyaksikan.

Katak tidak pernah tahu sesaat setelah dia 'kegirangan' disapa hujan ternyata Ajal menjemputnya seketika. Motor kami yang menjadi wasilahnya.

Yang dia tau, 'suara khas' nya telah diamini Tuhannya, datanglah air suci dari langit dengan seketika.
Yang dia tau, dia harus keluar dari persembunyian kelompoknya, lalu melompat bahagia di jalanan.
Tiba2, traaaaash! dia tergencet, ususnya keluar, menjijikan.

Tapi tak apalah, pikirku. Dia cuma hewan yang tidak mengalami penghisaban di penghidupan selanjutnya (akhirat).
Tidak sepertiku, aku masih diberi akal untuk mengendalikan rasa suka citaku, dibebani hukum syara' agar tak sembarangan melompat bahagia di tengah jalan lalu tertabrak mati oleh pengguna jalan.

Kita bukan katak.

FLOURIDE

kita tak seperti 'flouride' yang memaksa memutihkan gigi agar tampil cantik tapi justru merapuhkannya, merusaknya di kemudian hari. 

parahnya, tak ada pilihan lain selain menggunakannya, produk pasta gigi tak ada yang terbebas darinya (0%flouride).pacman emotikon

sebab kita bukan flouride yang terpaksa dipakai orang dan terpaksa dibiarkan merusak orang.
smile emotikon
‪#‎terpaksa‬ dan ‪#‎memaksa‬




SAJAK RASA
Rasa suka bisa dihadirkan, pun rasa benci.

Gara2 1 sikap, rasa suka bisa hinggap.

Gara2 tak sengaja menyingkap, rasa suka bisa lenyap.


Yang jelas, antara rasa benci dan suka. Rasa bencilah yg paling mudah ditularkan.

Ia mudah muncul hanya karena sebuah kabar.

Dan lagi, kabar baik datang dgn berjalan..sedang kabar buruk datang dgn berlari.

Kau pilih saja, kabar apa yang ingin kau dengar, lalu kau sebarkan.

Sekian

TEMAN

kau tengah berbuat lalai
tapi kau didiamkan,
tak ditegur kesalahan,
tak dinasihati,
dibiarkan.
Mungkin dia(temanmu) lelah,



Mungkin juga dia tengah marah,



menghukummu dengan caranya :

'lakukan sesukamu saja', pikirnya.

andai kita peka.

tak semua amarah melambangkan rasa benci
dan tak semua senyap melambangkan damai di sini.

Senin, 11 Januari 2016

Tsunami Bukan Seremonial Belaka, Jadilah Pribadi Takwa

Minggu lalu (3/1/2016) saya dan kawan - kawan akhirnya bisa menyempatkan diri menginjakkan kaki ke Museum Tsunami Aceh. 

 Sudah 3 tahun di Banda Aceh, entah kenapa baru sekarang keinginan besar untuk kesana muncul. Padahal kata orang, 'tidak sah ke Banda Aceh kalau tidak singgah ke Museum Tsunami'. :D

Well, sampai jua kami di bangunan unik nan melingkar ini. Kami sebagai pengunjung tentu saja antusias, tertawa, dll saat mengabadikan momment itu dalam sekumpulan foto - foto. Kebetulan tak seorangpun diantara kami termasuk salah satu korban dalam peristiwa Tsunami.

Tapi, jika saya bertanya ke teman - teman asli Banda Aceh di kampus yang kampung halamannya terkena dampak peristiwa tragis itu mengaku merinding jika berkunjung ke Musseum. Bahkan ada yang menangis, terkisah cerita lalu sanak keluarga yang tak lagi bersamanya kini. 



Didalamnya, diabadikan nama-nama korban
benda-benda yang tersisa pasca tsunami, foto-foto kilas balik pra dan pasca tsunami
Replika Kejadan Tsunami


Kota ini terbiasa memperingati kejadian bersejarah tepat pada tanggal 26 Desember di setiap tahunnya. Terkadang kampus juga mengadakan Dzikir Akbar di masing - masing Fakultas/Program Studi. Banyak mahasiswa yang menangis haru terkenang masa sulit itu, terutama mahasiswinya.

Saya jadi teringat, pernah satu kali saya ikut menghadiri Majelis Dzikir peringatan Tsunami yang diadakan oleh Program Studi jurusan saya. Ditengah khusyuknya dzikir, tiba - tiba saya hilang konsentrasi melihat seorang mahasiswi di depan saya membalikkan wajahnya ke belakang (ke arah saya). Saya terkejut, make up nya luntur, air matanya berwarna hitam (efek mascara). Dia sesenggukan, sedih sekali nampaknya.

Itu membuat saya lost control, menundukkan kepala, lalu tertawa kecil. Saya berusaha mengembalikan konsentrasi saya dan berempati atas kesedihannya.

Singkat cerita, dzikir dan ceramah singkat selesai. Mahasiswa dipersilahkan meninggalkan ruangan sambil menerima nasi kotak di pintu keluar. Ditengah kerumunan itu, saya lihat lagi teman – teman saya yang sewaktu di dalam ruangan meraung – raung berlebihan, tapi setelah keluar ruangan tertawa – tawa cekikikan. Seakan – akan ia lupa apa yang 5 menit lalu ia rasakan.

Astaghfirullah.. berulang – ulang saya istighfar, beginilah kondisi manusia kekinian. Saat segala sesuatu hanya sebagai seremonial belaka. Tak ada ibrah yang mampu diambil dalam setiap kejadian. Nampak jelas mereka memperbaiki make up lalu bertabarruj lagi, berdua – duaan dan berkumpul ria dengan gerombolan laki – laki sedang tadinya kami berpisah dan menjaga jarak antara mahasiswa dan mahasiswi. Tak jarang juga saya mendapati penduduk asli yang tertangkap basah berkhalwat di pinggir pantai atau laut kota ini. Tak takut sama sekali kalau saja Allah menimpakan musibah itu untuk yang kedua kali.

Saya tidak menggeneralisir, mungkin hanya beberapa orang yang saya kenal saja yang bersifat seperti itu. Semoga peristiwa tsunami bisa dijadikan pelajaran akan besarnya kuasa Allah. Dan Musseum Tsunami yang menjulang tinggi ini bukanlah sekadar dijadikan tempat wisata semata, melainkan sebagai bahan muhasabah rakyat Aceh dan para pelancong lain seperti saya dan kawan – kawan. J