Minggu lalu (3/1/2016) saya dan kawan - kawan akhirnya bisa
menyempatkan diri menginjakkan kaki ke Museum Tsunami Aceh.
Sudah 3 tahun di Banda Aceh, entah kenapa
baru sekarang keinginan besar untuk kesana muncul. Padahal kata orang, 'tidak
sah ke Banda Aceh kalau tidak singgah ke Museum Tsunami'. :D
Well, sampai jua kami di bangunan unik nan
melingkar ini. Kami sebagai pengunjung tentu saja antusias, tertawa, dll saat
mengabadikan momment itu dalam sekumpulan foto - foto.
Kebetulan tak seorangpun diantara kami termasuk salah satu korban dalam
peristiwa Tsunami.
Tapi, jika saya bertanya ke teman - teman
asli Banda Aceh di kampus yang kampung halamannya terkena dampak peristiwa
tragis itu mengaku merinding jika berkunjung ke Musseum. Bahkan ada yang
menangis, terkisah cerita lalu sanak keluarga yang tak lagi bersamanya
kini.
|
Didalamnya, diabadikan nama-nama korban |
|
benda-benda yang tersisa pasca tsunami, foto-foto kilas balik pra dan pasca tsunami |
|
Replika Kejadan Tsunami |
Kota ini terbiasa memperingati kejadian
bersejarah tepat pada tanggal 26 Desember di setiap tahunnya. Terkadang
kampus juga mengadakan Dzikir Akbar di masing - masing Fakultas/Program Studi.
Banyak mahasiswa yang menangis haru terkenang masa sulit itu, terutama
mahasiswinya.
Saya jadi teringat, pernah satu kali saya
ikut menghadiri Majelis Dzikir peringatan Tsunami yang diadakan oleh Program
Studi jurusan saya. Ditengah khusyuknya dzikir, tiba - tiba saya hilang
konsentrasi melihat seorang mahasiswi di depan saya membalikkan wajahnya ke belakang
(ke arah saya). Saya terkejut, make
up nya luntur, air matanya
berwarna hitam (efek mascara).
Dia sesenggukan, sedih sekali nampaknya.
Itu membuat saya lost
control, menundukkan kepala, lalu tertawa kecil. Saya berusaha
mengembalikan konsentrasi saya dan berempati atas kesedihannya.
Singkat cerita, dzikir dan ceramah singkat selesai. Mahasiswa dipersilahkan
meninggalkan ruangan sambil menerima nasi kotak di pintu keluar. Ditengah kerumunan
itu, saya lihat lagi teman – teman saya yang sewaktu di dalam ruangan meraung –
raung berlebihan, tapi setelah keluar ruangan tertawa – tawa cekikikan. Seakan –
akan ia lupa apa yang 5 menit lalu ia rasakan.
Astaghfirullah.. berulang – ulang saya istighfar, beginilah kondisi manusia
kekinian. Saat segala sesuatu hanya sebagai seremonial belaka. Tak ada ibrah yang mampu diambil dalam setiap
kejadian. Nampak jelas mereka memperbaiki make
up lalu bertabarruj lagi, berdua –
duaan dan berkumpul ria dengan gerombolan laki – laki sedang tadinya kami
berpisah dan menjaga jarak antara mahasiswa dan mahasiswi. Tak jarang juga saya
mendapati penduduk asli yang tertangkap basah berkhalwat di pinggir pantai atau laut kota ini. Tak takut sama
sekali kalau saja Allah menimpakan musibah itu untuk yang kedua kali.
Saya tidak menggeneralisir, mungkin hanya beberapa orang yang saya
kenal saja yang bersifat seperti itu. Semoga peristiwa tsunami bisa dijadikan
pelajaran akan besarnya kuasa Allah. Dan Musseum Tsunami yang menjulang tinggi ini
bukanlah sekadar dijadikan tempat wisata semata, melainkan sebagai bahan muhasabah rakyat Aceh dan para pelancong
lain seperti saya dan kawan – kawan. J