Kamis, 23 April 2015

Filosofi Asam Sunti

Saya akan ceritakan pengalaman saya ketika tiba di Banda Aceh dan menjadi mahasiswi baru. Selama masa orientasi mahasiswa, saya selalu membeli makanan di RM terdekat. Walhasil saya kapok makan disana, masakannya terlalu asem (bagi saya). 

Di waktu berikutnya saya putuskan membeli makanan di RM Padang. Ternyata tak  jauh beda, mungkin lidah saya terlalu peka untuk mendeteksi rasa asam dalam setiap masakan.

Saya penasaran, darimana rasa asam ini berasal. Di Medan, biasanya kami menggunakan asam jawa di menu tertentu. Tapi rasa asam yang dihasilkan tidaklah sama.

Ketika sudah memiliki beberapa teman, saya meminta mereka merekomendasikan tempat makan yang enak. Setelah urusan orientasi hari itu selesai, saya mencoba saran mereka dan bergegas pulang ke kost baru untuk menikmatinya. Alih – alih menikmati, saya makin kangen masakan mama saya. RM yang satu ini justru yang paling asem masakannya dari tempat yang sebelumnya. Sebal betul, saya merasa dikerjain teman baru!

“kalian ngerjain aku ya?! kalian bilang disana tempatnya enak tapi ga taunya rasanya absurd
“loh.. ngapain juga kami kerjain, disitu enak kok.. kan bisa dilihat antriannya!” (Saya pikir – pikir iya juga sih, antriannya seperti mesin ATM di awal bulan). Betewe maksudnya rasa absurd itu gimana sih?”
“ya rasanya aneh, ada asem – asem kecut sepat ga jelas gitu. Aku juga gatau asemnya itu datang darimana”
“mungkin kebanyakan dimasukin asam sunti kali ya?”
“asam sunti? Apa’an tuh?
“(mereka hanya tertawa)”

Bagi rekan – rekan di luar Aceh mungkin belum tau apa itu asam sunti. Well, kalo kata mbah wikipedia, asam sunti adalah sejenis bumbu dapur khas Aceh yang terbuat dari belimbing wuluh yang dikeringkan, diberi garam lalu dijemur diterik matahari berkali-kali hingga kering dan dapat disimpan lebih lama.

Ini nih.. saya jepretin gambar dari rumah warga. 



Tentang rasa, ternyata ini hanya masalah pembiasaan. Masyarakat Aceh terbiasa dengan makanan asam. Bahkan ketika makan bakso bersama teman – teman, beberapa dari mereka sengaja mencampurkan cuka bersama saus dan kecap. Orang Jawa juga terbiasa dengan masakannya yang manis, bakal diare kalau dia disuruh makan masakan asli Padang.

Asam sunti mengajarkan saya tentang pembiasaan. Ketika kembali ke RM yang dulu saya sebut – sebut absurd, ternyata sekarang sudah biasa saja. Ketika bepergian dengan teman – teman, saya mulai ikut menambahkan beberapa tetes cuka ke dalam mangkuk bakso.

Mirip dengan pertama kalinya saya memutuskan menutup aurat dengan sempurna. Ketika pertama kali mengenakan busana muslimah, saya merasa risih dan gerah. Tapi lama kelamaan semua berjalan biasa saja, terutama hal ini karena dorongan keimanan bukan sesederhana cita rasa.

Saya tidak tau asam sunti ini pantas atau tidak disandingkan dengan jilbab, hanya saja begitulah yang saya rasakan. Pertama kali saya mengenakan jilbab dengan konsisten memang di Aceh, pertama kali saya merasakan sambel yang asem juga di Aceh :D . Walaupun korelasinya terkesan memaksa, tetap saja isi tulisan terserah pada penulisnya, jadi sekehendak saya ya :p (asli maksa)

Intinya segala sesuatu yang tidak nyaman jika sudah dibiasakan tetap akan merasa aman. Pun begitu halnya dengan orang baik yang mulai membiasakan diri dengan keburukan, entah itu karena faktor teman alias lingkungan, jika ia terbiasa dengan keburukan maka ia akan  lupa makna kebaikan. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar