Bahasa
merupakan alat komunikasi. Cara menempatkannya, susunannya, dan pemilihan kata nya sangat
mempengaruhi informasi yang ditangkap oleh pendengar.
Disini kita membahas
tentang komunikasi langsung, bukan tidak langsung seperti sms yang sudah
berhati – hati memilih kata-kata pun bisa menimbulkan kesalahpahaman, apalagi ga dipilih sama sekali, ngetik tanpa lihat screen gituh. Misalnya temanmu
sms rada panjang, “sist, bla bla bla bla” lalu kamu balas “Y” supaya singkat
dan kebetulan kamu lagi dijalan. Tidak lama kemudian Hp berderiing “Halo, kamu
marah ya? perkataanku ada yg salah???” yaahh panjang deh kalo bahas komunikasi ga
langsung.
Well, saya
mau bincang – bincang secara tidak langsung mengenai perbincangan
langsung.(pahami sendiri maksudnya :p)
Alkisah, ada
seorang ustazah yang diamanahkan membina 5 orang remaja yang ingin halqah rutin
setiap minggunya. Mereka adalah siswi kelas 1 SMA, dan ustazahnya merupakan
seorang mahasiswi. Pada pertemuan pertama setelah perkenalan, mereka mulai
membaca mukaddimah kitabnya yang berbahasa Arab. Kemudian sang ustazah mulai
menjelaskan maksud paragraf kitabnya, ternyata salah satu binaan barunya ada
yang ngelamun. Ustazah bertanya
“kenapa
dek?”
“gapapa kok
kak”
“kalau ada
masalah, nanti saja selesai halqah kita bincangkan”
“ya kak”
“kakak harap
adik – adik minggu depan bawa gelas kosong ya, jadi ilmunya bisa diserap utuh”
Seminggu
berlalu, mereka bertemu lagi di masjid biasa, dan... wow! Ustazahnya kaget,
adik yg kemarin melamun beneran nyodorin gelas kosong “memangnya apa
hubungannya ilmu dgn gelas kosong kak?” ia bertanya dengan polosnya.
Kemudian sang
ustazah menjelaskan maksudnya “gelas
kosong itu umpama pikiran yg siap diisi ilmu dan mengesampingkan hal lain
terlebih dahulu dik ...” jelasnya sambil diselingi tawa.
Wajah adik itu pun
memerah.
Tentu ungkapan gelas kosong
biasa dikenal oleh orang – orang yang pernah mengikuti seminar atau training,
wajar sang adik salah paham. Ya di satu sisi memang beliau terlalu polos untuk
tidak menangkap maksudnya. :D
Cerita
diatas bisa dijadikan contoh, tak usahlah menggunakan kata – kata ambigu tanpa
penjelasan untuk orang yang baru dikenal. Kita belum tahu tingkat kepekaan orang lain terhadap informasi yang ia tangkap.
Kisah
lainnya datang dari seorang mahasiswa yang sedang menjalankan program KKN di
sebuah desa. Ia mengadakan penyuluhan tentang kewirausahaan. Pak Kades sudah
mengumpulkan warganya di ruang sederhana, sang mahasiswa pun memaparkan isi slide show dengan kerennya.
Ketika
memasuki sesi tanya-jawab, seorang bapak mengacungkan tangan, setelah sedikit
berbisik dengan temannya di samping kanan dan kiri, diapun berbicara, “Nak, mohon
maaf ini sebelumnya, sebenarnya kami tidak mengerti apa yang disampaikan. Kata
– katanya itu loh nak, sulit dipahami orang – orang tua seperti kami yang memang tidak
berpendidikan tinggi. Saya sendiri hanya tamatan SD. Tolong pemaparannya
diulang dari awal lagi tanpa menggunakan bahasa sasi sasi”
Guuubbbraaaakkkkk!!!
Rasanya itu mahasiswa pengin salto
keliling ruangan untuk menenangkan diri. Tapi untung lah dia masih normal dan
mengurungkan niat ekstrem nya itu. Setelah menghela nafas panjang, ia merasa berkewajiban
untuk mengulanginya dari awal walau sedikit terpaksa. Tentu saja penyampaiannya
jadi tidak maksimal karena diburu waktu azan yang hampir tiba.
Hmm soal
komunikasi rasanya banyak sekali contoh yang bisa kita angkat dari lingkungan
sekitar. Yang jelas saya ingin berpesan, gunakanlah kata yang tepat untuk
berbicara dengan yang lebih muda seperti anak – anak, ataupun kepada orang tua
yang tidak ingin diberatkan kepalanya oleh istilah asing yang diindonesiakan. Gunakan
saja bahasa sehari – hari yang sederhana. Kalau di kampus atau dengan
dosen ya terserah saja. Pandai – pandai kitalah menempatkannya.
Saya
khawatir lho, jika anda salah menyampaikan informasi atau nyaris frustrasi
dalam suasana penting, jadinya malah melakukan apa yang terbersit di benak
mahasiswa diatas :D
haha.. peace.. i know u'r such of normal person too :p